Minggu, 17 Maret 2024

insight : 'MEMAKSA' MASUK SURGA

Posted by annisa ratu aqilah at 5:01:00 AM

Beberapa hari lalu sepulang sekolah... 

"Umma, tadi di sekolah aku dengar, kalau gpp lho nggak puasa kalau ndak kuat. Katanya masih kecil gpp lho puasanya sampai siang aja kalau ndak kuat. Kan masih latihan..."

Aku yang mendengar celotehnya saat itu terdiam sembari berpikir reaksi apa yang harus kuberikan. 

"Masya Allah... Iya, boleh memang kalau tidak kuat puasa, ada orang² yang boleh tidak puasa. Kakak ndak kuat puasanya? Sakit? Atau gimana?"

"Hehe.. ndak sih. Tapi aku laper, haus..."

"Alhamdulillah.. kalau kakak lanjutin sampai Maghrib, insya Allah nanti pahalanya tambah-tambah, karena kakak bisa nahan lapar dan haus itu..."

Wajahnya senyum² meringis, seperti layaknya perempuan, anak gadisku seperti ingin memberikan kode kepada ummanya. Aku mau puasa sampai siang saja, Umma..

boleh kan? 

"Kakak tau tidak, waktu kakak mendengar perkataan seperti itu di sekolah, terus kakak pengen berhenti puasa, itu sebenarnya godaan. Setan berusaha merayu kakak..

Hafizaahhh....Hafizaahhh..
Tuh, boleh tuh puasa sampai siang aja..
Sudah.. puasanya sampai siang ajjaaa.. 
Kan masih kecil... 

Kayak gitu kak..."

Anak Sholihahku itupun tertawa kecil.
Diikuti dengan kedatangan adiknya 

"Kakak ndak puasa?", tanyanya polos 

"Puasaaaa...", jawab kakaknya cepat 

"Aku lho kuat kak sampai sore"

Aku tersenyum mendengarnya,

"Alhamdulillah, kakak juga insya Allah kuat kok ya kak sampai sore. Sejak hari pertama kan kalian kuat puasa sampai sore. Alhamdulillah dikasih kesehatan sama Allah jadi bisa kuat puasanya. Kecuali kalau sakit, baru boleh tidak puasa. Kakak sakit?"

Dia menggeleng dengan tawa cengengesan dan pergi bermain bersama adiknya. 

🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍

Masuk Ramadan hari kelima, itulah pertama kalinya kakak secara langsung mengungkapkan keinginannya untuk tidak melanjutkan puasanya. Pernyataan yang ia dengar di sekolah membuatnya berpikir seperti itu. Saya yang tidak memahami konteks dari pernyataan yang ia dengar, hanya bisa berpikir maksud penyampaian itu sebenarnya baik, hanya anak-anak yang belum memahami sepenuhnya. Bahwasanya ada memang keringanan dalam beribadah, tapi bukan berarti kita melakukannya dengan setengah-setengah. 

Sebagaimana tidak ada puasa setengah hari dalam syariat Islam, jika memang tidak kuat, boleh dibatalkan. Bukan berbuka lalu melanjutkan lagi latihan berpuasa. 

Beribadah itu harus dilakukan dengan baik, diusahakan dengan yang terbaik. Insya Allah akan menghasilkan hal-hal yang baik dan jika Allah ridho, pahalanya juga yang terbaik.

🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍

Belajar dari obrolan bersama anak-anak tadi, saya menyadari betapa pentingnya bentuk kalimat dalam menyemangati. Mungkin maksudnya baik, tapi yang tersampaikan menjadi kurang baik. Ada mereka yang menjadi lebih semangat dengan menggunakan psikologi terbalik dalam menyampaikan, ada juga semangatnya diperoleh dari kata-kata positif dan membangun. Ada yang karena tersindir jadi tersadar akan kekurangannya, pun ada yang melihatnya lebih kepada sudut pandang perasaan dan menjadikannya sekedar kata-kata tak menyenangkan. 

Islam mengajarkan kita untuk qoulan sadidan dalam mendidik anak, termasuk dalam hal menasihati. Bukan dengan menyindir, menggertak, dan memaksa dengan ancaman.

Bicara tentang memaksa. Kadang ibadah itu harus dipaksa terlebih dulu. Sebagaimana Ibnul Qayyim menjelaskan, hikmah dari memaksakan ibadah dapat melatih kebiasaan baik, mempercepat beradaptasi dan menerima sebuah perubahan drastis, serta menjadi teladan untuk orang lain. 

Karena jalan menuju surga itu dilalui dengan jalan yang tidak selalu menyenangkan, sedangkan neraka sebaliknya 

Banyak ibadah-ibadah yang sulit dan berat dilakukan secara kontinu di awal kita melakukannya, termasuk ibadah berpuasa anak-anak. Jika kita tidak 'tega' lalu mau menunggu sampai kapan kita melakukannya? Apakah dengan bertambah usia bertambah pula kesiapan? Bisa jadi, tapi apakah yakin usia kita akan cukup sampai bertemu dengan masa itu? Belum pasti. Tega bukan berarti keras, melainkan tegas. Tegas bukan berarti kasar, namun tetap lemah lembut dalam memberikan nasihat dan teladan. 

Realitanya, ada hal yang lebih sulit daripada memulai dengan keterpaksaan. Menjaga tetap Istiqomah di jalan kebaikan. Sadar atau tidak, kita selalu dihadapkan dengan keterpaksaan di luar hal-hal berkenaan ibadah. Terpaksa bangun pagi untuk berangkat sekolah saat dulu masih kecil. Terpaksa mengerjakan PR yang melihatnya saja sudah enggan. Terpaksa mengikuti ritme pekerjaan yang sebenarnya sudah sangat lelah melakukannya. Banyak hal-hal yang tanpa sadar kita sendiri memaksakannya. Tak sedikit dari itu yang pada akhirnya dilakukan dengan setengah hati, asal selesai, asal jadi. 

Apakah dengan begitu hal yang sama juga akan terjadi saat kita memaksakan ibadah kepada anak-anak? Apakah kemudian mereka hanya akan beribadah karena ingin menggugurkan kewajiban?

Saat merenungi itu, ternyata saya terlalu jauh berpikir. Melupakan bahwasanya hidayah dan kasih sayang Allah itu sangat luas. Dialah yang Maha membolak-balikkan hati. Sebagaimana Nabi Nuh dengan anaknya, Nabi Ibrahim dengan ayahnya. Nabi Muhammad dengan pamannya. Ikhtiar kita tetap harus beriringan dengan doa. Muara dari semua itu adalah tawakal kepadaNya 

Setiap orangtua tentu saja hanya mengupayakan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya dengan usaha yang menurut masing-masing dari mereka adalah yang terbaik. Terbaik versi saya belum tentu terbaik menurut orang lain, tapi, jika sumber dan pedoman kebaikan itu adalah sama, Alqur'an dan As Sunnah, insya Allah tujuannya tetap sama meskipun jalannya berbeda. Itulah sebab pintu surga bukan hanya satu untuk kita bisa menjadi versi terbaik hamba-Nya. Sebagaimana banyak perintah Allah Ta'ala dalam Al Qur'an telah banyak menyerukan kepada kita agar menjadi pribadi yang bertakwa. Allah telah memberikan banyak kunci dan jalan agar seorang muslim menjadi muttaqin (orang yang bertakwa) dengan perintah menjalankan syariat Allah dengan kaffah (menyeluruh).

Islam Kaffah dalam tafsir surah Al Baqoroh berarti menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya. Terdengar sangat sulit ya. Iya, mungkin saja karena jiwa kita belum merasakan nikmatnya beribadah. Hanya akal yang sudah memahami tuntutan tanpa jiwa yang merasakan kenikmatan. Sebagaimana jasad yang butuh asupan makanan, jiwa pun demikian. Pada dasarnya makanan jiwa itu ada dua, yaitu ibadah mahdhah (pokok) yang berguna menjaga hubungan vertikal kita dengan Allah seperti shalat dan puasa dan sarapan jiwa yang kedua disebut ibadah ghair mahdhah (bukan pokok), yang berguna memelihara hubungan horizontal kita sesama makhluk sosial.

Lalu, jika ibadah yang sulit itu ditunda karena tak tega, bukankah kita justru sedang membuat jiwanya lapar dan dahaga? Lebih bahaya mana, tubuh yang menahan lapar atau jiwa yang kelaparan... (?)

Sebagaimana anak yang belum memahami alasan kuat mereka menahan makan dan minum seharian selain untuk mendapatkan pahala surga. Hal abstrak yang sulit dijelaskan tapi dapat dihadirkan. Menghadirkan 'keindahan' surga itu melalui teladan. Perbuatan dan perkataan yang memberikan anak-anak kegembiraan. Semoga dengan begitu jiwa-jiwa mereka akan terisi dan memberikan mereka kenikmatan-kenikmatan beribadah yang hakiki. 

Akal bisa dipahamkan, tapi urusan hati kepada pemiliknya kita menyerahkan.

Semoga setelah Ramadan ini, kita dapat terlahir kembali menjadi hamba dengan versi terbaik dan mampu menjadi teladan untuk anak-anak kita. Menjadi muslim Kaffah dan Istiqomah dalam beribadah. 

Semoga kita dapat senantiasa menjadi orangtua yang bertumbuh dan berusaha menjadi lebih baik..Orangtua yang tegas tapi juga lembut. Orangtua yang menyenangkan sebagai 'rumah' dan sebagai teman dalam beribadah.


Bersama menggapai surgaNya ***






"
 

ANNISA RATU AQILAH Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez